Hak-Hak
Pekerja adalah Hak Asasi Manusia
Pada tahun 1944 Konferensi Perburuhan
Internasional bertemu di Philadelpia, Amerika
Serikat. Pertemuan ini menghasilkan DEKLARASI
PHILADELPIA, yang mendefinisikan
kembali tujuan dan maksud Organisasi
Perburuhan Internasional (ILO). Deklarasi
tersebut memuat prinsip-prinsip sebagai
berikut:
• Tenaga kerja bukanlah
barang dagangan;
• Kebebasan mengeluarkan
pendapat dan kebebasan berserikat adalah penting
untuk mencapai dan mempertahankan kemajuan
yang telah dicapai;
• Dimana ada kemiskinan, di
situ kesejahteraan terancam;
• Semua manusia, tanpa
memandang ras, asal usul, atau jenis kelamin, berhak
mengupayakan kesejahteraan jasmani dan rohani
dalam kondisi-kondisi yang
menghargai kebebasan, harkat dan martabat
manusia, dan kondisi-kondisi yang
memberikan jaminan ekonomi dan kesempatan
yang sama.
Deklarasi ini menjadi pendahulu dan
memberikan pola bagi Piagam Bangsa-Bangsa dan
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia.
ILO pada bulan Juni 1998 melalui Konferensi
Perburuhan Internasional telah
mengadopsi Deklarasi mengenai Prinsip-Prinsip
dan Hak-Hak Mendasar di Tempat
Kerja, hal ini menandai penegasan kembali
kewajiban universal para negara anggota
ILO untuk menghargai, memasyarakatkan, dan
mewujudkan prinsip-prinsip mengenai
hak-hak mendasar yang menjadi subjek dari
Konvensi-Konvensi ILO, sekalipun mereka
belum meratifikasi Konvensi-Konvensi tersebut
(Indonesia mejadi Anggota ILO sejak
tahun 1950)1.
Saat ini Indonesia telah meratifikasi Lima
Belas Konvensi-Konvensi ILO, dan Delapan
diantara adalah Konvensi Inti ILO (Core ILO
Conventions)2 yaitu:
• Konvensi ILO No. 29
tentang Penghapusan Kerja Paksa
• Konvensi ILO No. 87
tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk
Berorganisasi ;
• Konvensi ILO No. 98
tentang Hak Berorganisasi dan Melakukan Perundingan
Bersama
• Konvensi ILO No. 100
tentang Pemberian Upah Yang Sama Bagi Para Pekerja
Pria dan Wanita
• Konvensi ILO No. 105
tentang Penghapusan Semua Bentuk Kerja Paksa
• Konvensi ILO No. 111
tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan
• Konvensi ILO No. 138
tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja
• Konvensi ILO No. 182
tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.
1 Timor Leste menjadi
anggota ILO, ke – 177, pada tanggal 19 Agustus 2003
2 Belum ada Konvensi Inti
ILO yang diratifikasi oleh pemerintah Timor Leste tapi pada
Laporan Governing Body (GB.300/LILS/7 300th
Session) dikatakan bahwa - ……The
Government indicated
during the 93rd Session (June 2005) of the International Labour
Conference that it was
looking into the ratification of the eight Conventions concerned.
Namun demikian, pengakuan pada ketentuan dari
Konvensi seringkali terhalang oleh
hambatan serius dimana peraturan
perundang-undangan tidak mampu menjamin secara
memuaskan jaminan yang ditetapkan Konvensi
yang menyangkut langkah-langkah
perlindungan terhadap pelanggaran hak-hak
serikat pekerja, baik karena ketentuanketentuannya
tidak cukup mendorong untuk tidak melakukan
atau karena ketentuanketentuan
itu menyampingkan kategori-kategori pekerja
tertentu (seperti pembantu
rumah tangga, pekerja pertanian, pegawai
negeri), ataupun juga karena keadaan akan
pengakuan kemerdekaan sipil dan politik dan
pengakuan terhadap hak asasi manusia.
Hal tersebut menjadi komitmen terus menerus
serikat pekerja untuk pencapaian hak-hak
pekerja/serikat pekerja sebagai legitimasi
akan martabatnya sebagai manusia yang
dilindungi oleh
hukum/undang-undang/standar-standar internasional perburuhan.
Freedom (Kebebasan), Justice
(Keadilan), Security (Keamanan) dan Faith
(Keyakinan) adalah nilai-nilai yang melekat
secara tegas pada manusia dimana mereka
menemukan martabatnya sebagai manusia-human
dignity (dikatakan oleh Frank
Tannenbourn dalam bukunya ”Philosophy of
Labor”). Serikat pekerja berusaha keras
untuk mengembalikan nilai-nilai itu, melalui
perjuangan pencapaian hak-hak
pekerja/serikat pekerja. Trade Union
Rights are Human Rights.
Kebebasan
Berserikat dan Hak Berunding Bersama
Prinsip-prinsip dan hak mengenai kebebasan
berserikat dan berunding bersama diatur
dalam Konvensi ILO No. 87 tahun 1948
(diratifikasi melalui Keppres RI No. 83 Tahun
1998) dan Konvensi ILO No. 98 tahun 1949
(diratifikasi pemerintah Indonesia melalui
UU No. 18 tahun 1956).
􀂉 Konvensi ILO No. 87 tahun 1948
Tujuan dari Konvensi ini adalah untuk
memberikan jaminan kepada pekerja/buruh dan
pengusaha akan kebebasan untuk mendirikan dan
menjadi anggota kelompok, akan
kemajuan dan kepastian dari
kepentingan-kepentingan pekerjaan mereka, tanpa
sedikitpun ada keterlibatan negara:
• bebas mendirikan
organisasi tanpa harus meminta persetujuan dari institusi
publik yang ada;
• tidak adanya larangan
untuk mendirikan lebih dari satu organisasi di satu
perusahaan, atau institusi publik, atau
berdasarkan pekerjaan, atau cabangcabang
dan kegiatan tertentu ataupun serikat pekerja
nasional untuk tiap sektor
yang ada;
• bebas bergabung dengan
organisasi yang diinginkan tanpa mengajukan
permohonan terlebih dahulu;
• bebas mengembangkan
hak-hak tersebut diatas tanpa pengecualian apapun,
dikarenakan pekerjaan, jenis kelamin, suku,
kepercayaan, kebangsaan dan
keyakinan politik.
Konvensi ILO No. 87 ini juga menjamin
perlindungan bagi organisasi yang dibentuk
oleh pekerja ataupun pengusaha,
sehingga tanpa adanya campur tangan dari institusi
publik, mereka dapat:
• bebas menjalankan fungsi
mereka, termasuk untuk melakukan negosiasi dan
perlindungan akan kepentingan-kepentingan
pekerja;
• menjalankan AD/ART dan
aturan lainnya, memilih perwakilan mereka, mengatur
dan melaksanakan berbagai program
aktifitasnya;
• mandiri secara finansial
dan memiliki perlindungan atas aset-aset dan
kepemilikan mereka;
• bebas dari ancaman
pemecatan dan skorsing tanpa proses hukum yang jelas
atau mendapatkan kesempatan untuk mengadukan
ke badan hukum yang
independen dan tidak berpihak;
• bebas mendirikan dan
bergabung dengan federasi ataupun konfederasi sesuai
dengan pilihan mereka, bebas pula untuk
berafiliasi dengan organisasi
pekerja/pengusaha internasional. Bersamaan
itu, kebebasan yang dimiliki
federasi dan konfederasi ini juga dilindungi,
sama halnya dengan jaminan yang
diberikan kepada organisasi pekerja dan
pengusaha.
Konvensi ILO No. 87 ini
juga menyebutkan secara tidak tegas mengenai Hak
Mogok, dalam pasal 3 ayat 1 : organisasi
pekerja dan organisasi pengusaha berhak
menyusun AD/ART mereka, memilih
wakil-wakil mereka dengan kebebasan penuh,
menyelenggarkan
administrasi dan kegiatan mereka serta menyusun program mereka”.
Dan ditegaskan lagi pada pasal 10 : mendorong
dan membela kepentingan pekerja
dan pengusaha”.
Hak mogok adalah hak
fundamental bagi pekerja dan organisasi-organisasi
mereka sebagi maksud untuk
mempromosikan dan membela kepentingan ekonomi dan
sosial mereka secara syah. Tetapi mogok
adalah usaha akhir dari serikat pekerja
setelah usaha-usaha yang bersifat kooperatif
atau melalui meja perundingan tidak dapat
dicapai kesepakatan. Dan hal inipun diatur
melalui kebiasan dan hukum nasional
setempat.
Konvensi ILO No. 87 ini juga dipertegas lagi
dengan keluarnya UU No. 21 tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
􀂉 Konvensi ILO No. 98 tahun 1949
Maksud dari Konvensi ini adalah untuk
melindungi hak pekerja untuk berserikat tanpa
adanya campur tangan dari pihak pengusaha.
Konvensi ini juga menguraikan prinsipprinsip
ILO yang mendasar mengenai Berunding bersama:
• hak pekerja untuk
dilindungi dari berbagai undang-undang diskriminatif terhadap
serikat pekerja. Secara khusus adalah
undang-undang yang dimaksud untuk
menghalangi pekerja untuk bergabung dengan
serikat pekerja atau yang
kemudian menyebabkan pekerja mengundurkan
diri sebagai anggota serikat
pekerja. Termasuk pula undang-undang yang
menyebabkan pekerja mendapat
tuduhan ataupun dipecat karena aktifitas
maupun keanggotaan mereka di serikat
pekerja;
• hak organisasi buruh dan
pengusaha untuk mendapatkan perlindungan yang
layak atas campur tangan dari masing-masing
pihak dalam terbentuknya,
berfungsinya dan terlaksananya organisasi
mereka;
• memastikan peningkatan
perundingan bersama dan sekaligus mempertahankan
otonomi para pihak dan sifat sukarela dari
negosiasi sebagai maksud untuk
menentukan syarat-syarat dan kondisi-kondisi
kerja
Dalam syarat melakukan
perundingan bersama adalah pengakuan, keperwakilan.
Pengakuan ini bersifat tidak diwajibkan
(optional), dengan maksud agar jangan sampai
organisasi yang paling mewakili diberikan
hak-hak istimewa melebihi prioritas dalam
perwakilan untuk melakukan perundingan
bersama dibandingkan dengan organisasi
lainnya yang mewakili (bila terdapat lebih
dari satu organisasi pekerja/pengusaha).
Perjanjian Kerja Bersama (collective
bargaining agreement) memberikan dua sisi
manfaat yang berbeda bagi serikat
pekerja/pekerja dan pengusaha.
Bagi serikat pekerja, Perjanjian Kerja
Bersama memberikan manfaat yang lebih
khususnya dalam:
• nilai kekuatan dengan
banyak anggota yang belum terlibat akan menjadi anggota
serikat pekerja;
• anggota yang aktif akan
mengajak atau mempengaruhi anggota yang belum aktif
untuk lebih aktif menjadi anggota;
• meningkatkan kepercayaan
anggota;
• anggota lebih
terorganisir;
• serta serikat pekerja
menjadi suatu hal yang baik bagi pekerja.
Perjanjian Kerja Bersama ini secara tidak
langsung menimbulkan dampak yang
menguntungkan meningkatkan daya saing
perusahaan dan sektor bisnis pada
umumnya, lebih jauh lagi menimbulkan dampak
positif pada hubungan antara pekerja
dan serikat pekerja ditingkat perusahaan
karena perundingan yang komplek tentang
pengupahan dan sebagainya telah ditentukan.
Perjanjian Kerja Bersama ini akan
menekankan serikat pekerja untuk lebih
hati-hati dalam penggunaan hak mogoknya
sebagai upaya yang paling akhir dan lebih
mengedepankan proses dialog atau
negosiasi dalam menyampaikan tuntutannya.
Mengedepanan prinsip
berunding bersama adalah suatu proses :
1) pencapaian suatu kesepakatan;
2) penyelesaian konflik yang saling
menguntungkan kedua belah pihak (conflik
resolution for mutual gain);
3) menjaga hubungan industrial yang harmonis
dalam waktu lama (maintanance
industrial peace).
Larangan
Terhadap Diskriminasi
Konvensi yang berhubungan dengan promosi Anti
Diskriminasi dan Kesamaan
Kesempatan dan Perlakuan (Pekerja Laki-Laki
dan Perempuan) dalam Hubungan Kerja
dan Pekerjaan adalah Konvensi ILO No. 100
tahun 1951 (diratifikasi melalui UU No. 80
tahun 1957) dan Konvensi ILO No. 111 tahun
1958 (diratifikasi melalui UU No. 21 tahun
1999).
􀂉 Konvensi ILO No. 100 tahun 1951 tentang Pemberian Upah Yang
Sama Bagi
Para Pekerja Laki-Laki dan Perempuan
Konvensi ini mengharuskan negara yang
meratifikasi untuk mengambil langkah
memajukan dan (dimana hal ini konsisten
dengan metode yang dibuat untuk penetapan
upah) memastikan pelaksanaan prinsip dari
kesaman pengupahan bagi tenaga kerja
perempuan dan laki-laki untuk pekerjaan yang
sama nilainya. Persyaratan ini melampaui
kesamaan perlakuan untuk pekerjaan yang “sama”
atau “sejenis” dimana nilai dari jenis
pekerjaan yang berlainan harus dibandingkan
tanpa diskriminasi atas dasar jenis
kelamin.
Prinsip ini berlaku untuk gaji dasar biasa,
dan pada penghasilan tambahan lainnya, baik
dalam bentuk tunai atau barang, yang
dibayarkan oleh pengusaha.
Kesamaan pengupahan adalah hak dasar yang
ditetapkan oleh ILO dalam Deklarasi
Prinsip-Prinsip Dasar dan Hak-Hak di tempat
Kerja. Hal ini secara langsung
berhubungan dengan isu pengurangan kemiskinan
dan peningkatan pembangunan.
Bertambahnya pendapatan perempuan kemungkinan
besar akan digunakan untuk
meningkatkan investasi kesehatan dan pendidikan
anak.
􀂉 Konvensi ILO No. 111 tahun 1958 tentang Diskriminasi dalam
Pekerjaan
dan Jabatan
Konvensi ini dimaksudkan untuk mempromosikan
kesamaan kesempatan dan perlakuan
guna mengakhiri segala bentuk diskriminasi
dalam kesempatan kerja dan pekerjaan.
Istilah “DISKRIMINASI” didefinisikan dalam
Konvensi sebagai segala bentuk
pembedaan, penyisihan atau pilihan yang
dibuat berdasarkan ras, warna kulit, jenis
kelamin, agama, pandangan politik, asal
bangsa atau tata masyarakat yang
meyebabkan peniadaan atau pengurangan
kesamaan kesempatan atau perlakuan
dalam kesempatan kerja dan pekerjaan.
Diskriminasi harus ditiadakan dalam akses ke
pelatihan kerja, pekerjaan dan kerja
khusus dan serta syarat dan kondisi
pekerjaan.
Konvensi ini diperkuat lagi dengan UU No. 7
tahun 1984 tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW)3.
3 CEDAW (Convention on
the Elimination of All Forms Discrimination Against Women).
Konvensi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB
pada tanggal 18 Desember 1979,
merupakan perjanjian internasional tentang
perempuan yang paling komprehensif dan
menetapkan kewajiban hukum yang mengikat
untuk mengakhiri diskriminasi terhadap
Perempuan diseluruh dunia
disatukan melalui permasalahan-permasalahan yang
sama – ketidakberuntungan;
mendapatkan
kwalitas pendidikan formal yang rendah,
halangan dalam pekerjaan karena beban
tanggung jawab keluarga-akses untuk
pelatihan dan promosi kerja, bekerja pada
sektor-sektor tertentu yang menempatkan
mereka pada posisi upah rendah, mereka juga
sedikit akses untuk mendapatkan upah
tambahan seperti bonus atau penghargaan.
Melalui kedua Konvensi tersebut diatas, telah
jelas diuraikan bahwa para pekerja lakilaki
dan perempuan mempunyai hak yang sama dan terhindar
dari diskriminasi. Serikat
pekerja mempunyai peran yang jelas dalam
mempromosikan kesetaraan jender
(promoting Gender Equality), untuk menjadikan
Konvensi-Konvensi ini menjadi nyata
didalam pelaksanaannya.
Penghapusan
Kerja Paksa
Kerja paksa ditemukan dalam berbagai bentuk
sepanjang sejarah, dan tidak menutup
kemungkinan saat ini masih berlangsung
praktek tersebut meskipun dalam bentuk yang
berbeda (modern slavery/manpower
exploitation. perbudakan modern/eksploitasi
tenaga kerja, karena kepentingan-kepentingan
praktek-praktek bisnis semata dan
mengesampingkan hak dan harkat hidup
manusia). Kerja paksa/kerja yang dipaksakan
dapat meyuburkan kemiskinan, dan menghalangi
pelaksanaan hak asasi manusia
mendasar lainnya seperti kebebasan berserikat
dan kebebasan dari diskriminasi.
Konvensi yang mengatur tentang penghapusan
kerja paksa adalah Konvensi ILO No. 29
tahun 1930 (diratifikasi oleh Pemerintah
Belanda pada tanggal 31 Maret
1933,Ned.Stbl.No.26, 1933 jo Ned.Stbl.
No.236, 1933. Dinyatakan berlaku bagi
Indonesia dengan Stbl. No. 261, 1933) dan
Konvensi ILO No. 105 tahun 1957
(diratifikasi melalui UU No. 19 tahun 1999).
􀂉 Konvensi ILO No. 29 tahun 1930
Mengharuskan negara yang meratifikasi untuk
menghentikan penggunaan kerja paksa
atau kerja wajib dalam segala bentuknya dan
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Kerja paksa atau wajib
kerja secara luas didefiniskan sebagai”semua kerja atau
jasa yang dituntut dari
seseorang dibawah ancaman hukuman dan bahwa si pekerja
tidak menawarkan jasanya
secara sukarela”
􀂉 Konvensi ILO No. 105 tahun 1957
Konvensi ini memperkuat Konvensi ILO No. 29.
Konvensi ILO No. 105 tahun 1957
menentukan penghapusan kerja paksa untuk lima
situasi khusus yang berhubungan
dengan penindasan politis, yaitu kerja paksa
atau wajib yang digunakan:
1) sebagai cara penekanan atau pendidikan
politik atau sebagai hukuman untuk
pemahaman atau pernyataan pandangan politik
atau pandangan yang secara
ideologis bertentangan dengan system politik,sosial
atau ekonomi yang syah;
perempuan. Konvensi ini menetapkan persamaan
kesempatan perempuan dan laki-laki
untuk menikmati hak-hak sipil, politik,
ekonomi, sosial dan budaya.
2) sebagai cara untuk pengembangan ekonomi;
3) sebagai cara untuk membina disiplin tenaga
kerja;
4) sebagai hukuman karena keikutsertaan dalam
pemogokan;
5) sebagai cara pelaksanaan diskriminasi
rasial, sosial, bangsa atau agama.
Penghapusan
Pekerja Anak
Anak adalah aset suatu bangsa, penerus
generasi suatu bangsa. Perlindungan terhadap
mereka merupakan satu elemen penting dalam
upaya untuk mencapai keadilan sosial
dan perdamaian universal. Perburuhan
anak-anak amat bertentangan dengan upaya
menumbuh-kembangkan kemampuan anak sebagai
manusia, nilai-nilai universal
mengenai pekerjaan yang layak (decent work4) dan menjunjung tinggi
harkat dan
martabat manusia, serta upaya penanggulangan
kemiskinan.
Perburuhan anak-anak berdampak buruk terhadap
kesehatan dan pendidikan anakanak,
bahkan tidak jarang mengakibatkan kematian.
Konvensi yang mengatur mengenai penghapusan
pekerja anak adalah Konvensi ILO
No. 138 tahun 1973 (diratifikasi melalui UU
No. 20 tahun 1999) dan Konvensi ILO No.
182 tahun 1999 (diratifikasi melalui UU 01
tahun 2000).
Pekerja Maju Untuk Menang
Dalam Serikat Pekerja
Apa yang telah diuraikan diatas adalah suatu
standard yang paling mendasar
(Findamental Standards) Organisasi Perburuhan
Internasional. Ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam standar tersebut
digunakan sebagai dasar untuk menyusun
perundang-undangan nasional. Karena itu,
Konvensi-Konvensi Perburuhan
Internasional memiliki dampak yang terus
berlanjut di luar kewajiban-kewajiban hukum
yang ditimbulkan.
Setiap anggota Organisasi Perburuhan
Internasional (ILO) mempunyai komitmen, yang
dipertegas melalui Deklarasi Prinsip-Prinsip
dan Hak-Hak Mendasar di Tempat Kerja “
untuk menghargai, memasyarakatkan, dan
mewujudkan prinsip-prinsip dan hak-hak
mendasar di tempat kerja”.
Hak pekerja/serikat pekerja adalah hak asasi
manusia. Semua hak-hak yang
dibicarakan dalam serikat pekerja; hak – hak
dasar, hak – hak fundamental, ILO Core
Conventions – Konvensi Inti ILO atau nama –
nama lainnya, sesungguhnya adalah
sama yaitu termasuk dalam Hak Asasi Manusia
(HAM). Tetapi permasalahan yang
4 Decent work – the heart of
social progress. "The primary goal of the ILO today is to
promote opportunities for
women and men to obtain decent and productive work, in
conditions of freedom,
equity, security and human dignity." - ILO Director-General Juan
Somavia. Decent work should be at the heart
of global, national and local strategies for
economic and social progress. It is central
to efforts to reduce poverty, and a means for
achieving equitable, inclusive and
sustainable development. The ILO works to promote
decent work through its work on employment,
social protection, standards and
fundamental principles and rights at work and
social dialogue.
dihadapi saat ini adalah TIDAK SEMUA pekerja
menyadari bahwa mereka mempunyai
hak tersebut ataupun tidak berani”meminta”
hak tersebut.
Sebagai perorangan pekerja tidak akan pernah
mampu memperjuangkan
kepentingannya (“meminta haknya”) atas apa
yang telah dilakukan sebagai kewajiban.
Mereka membutuhkan organisasi, serikat
pekerja, untuk pencapaian dan pemenuhan
hak-haknya.
Sekali lagi saya menyadur apa yang dikatakan
oleh Frank Tannenbourn; worker dignity
is not just about wage and
performance, worker dignity is about rights – worker
rights/human rights (martabat pekerja tidak
hanya sekedar upah dan prestasi, martabat
pekerja adalah tentang hak – yaitu hak-hak
sebagai pekerja/hak asasi manusia)
Selamat berjuang. Workers Need Union,
Union Need Workers, for The Union Make Us
Strong (Pekerja Membutuhkan
Serikat Pekerja, Serikat Pekerja Membutuhkan Pekerja,
melalui serikat pekerja kita akan kuat)